Minggu, 05 Agustus 2012

Hanya Nama yang Kembali

Masih terbayang saat dimana tangan-tangan yang basah melambai melepas kepergianku dengan beberapa isakan dan senyuman kecil saat itu. Disana bibi dengan terus menutup mulutnya dan berusaha melempar senyum yang dipancarkan matanya, Rida dan Toni, sahabatku yang saat itu juga hadir dengan segala candaannya, dan tentu tak lepas dari ingatan ada pelangi dihari-hariku juga, Ummi Lasifa, gadis yang hingga kini ku sayang namun ku tak pernah tau perasaannya untukku.

Mereka semua ada hingga saat-saat terakhir ku pergi meninggalkan Indonesia, Bandung, rumahku dan tentunya mereka. Tujuanku adalah Paris, negara yang tak sedikit orang dambakan untuk dijadikan tempat berlibur bersama keluarga atau bahkan bersama pasangan, negara yang sempurna untuk memanjakan diri dengan segala pesonanya yang ada dan lengkap dengan menaranya yang bagaikan tongkat dunia, ya dialah Menara Eiffel, pesona yang dari dulu ku impikan dan semua tercapai dengan berhasilnya ku memegang kaki sang tongkat dunia itu.

Sayangnya itu hanya pemanis dalam tujuanku yang sebenarnya, serangkaian radioterapi harus ku jalani disana hingga ku sembuh. Limfoma Non-Hodgkin atau biasa disebut Limfoma, adalah nama lain dari kanker kelenjar getah bening yang menyerang seluruh organ tubuhku saat itu yang memaksaku untuk menjalani radioterapi di luar perantauan sana.

***

Sekarang ku kembali menginjakan kaki di Indonesia dan kembali ke kampus yang sudah setahun lebih ku tinggalkan, tidak ada perubahan yang cukup berarti, hanya saja ada pembangunan gedung baru yang membuat kampus ini sedikit berbeda, selebihnya sama.

Lamanya waktu yang sudah ku tinggalkan dari kapus ini membuat rasa enggan untuk masuk kedalamnya, untuk sekarang ku hanya bisa duduk saja di seberang kampus dan memandanginya dengan sedikit mengingat kenangan dimasa lalu.

Tak jauh dari tempaku duduk, penjual nasi kuning tempat biasa ku sarapan pagi jika tak sempat sarapan di rumah masih terlihat sama, selalu setiap pagi dibanjiri mahasiswa yang belum sarapan, Ingin rasanya kudekati untuk sekedar tegur sapa atau mungkin membeli satu porsi saja, namun rasanya ku belum mau beranjak dari tempatku duduk dan lagi pula ku tak merasa lapar pagi ini.

Terlalu lama ku duduk dan merenung di pinggiran jalan seperti ini, tak ada salahnya ku masuk kedalam gedung dan mungkin bertemu Rida atau Toni atau siapa pun yang ku kenal dan sedikit berbincang-bincang.

Terlihat Rani teman sekelasku dulu di pertigaan lorong gedung, sempat ku panggil dari jauh namun sepertinya dia tak mendengar dan terlihat terburu-buru, ku biarkan saja dan tak ingin mengganggunya.

Tak ada satu pun yang ku kenal, ku bawakan diri menuju taman kampus dan duduk santai disana. Biasanya disini aku dan Ummi makan siang dengan bekal kami masing-masing, bahkan tak jarang kami saling bertukar makanan atau hanya sekedar berbincang-bincang sambil menunggu jam kuliah berikutnya.

Lama ku duduk tapi Ummi tak terlihat datang atau pun lewat, mungkin Ummi sudah tak pernah datang kemari lagi dan melupakanku dengan segala kenangan yang ada di taman ini, aku mengerti, karna selama pergi ku tak pernah memberi kabar kepadanya, mungkin dia marah, atau mungkin ada pria lain yang bisa menemaninya.

Hari pun terlihat mulai lelah dengan cahayanya yang semakin redup, dan ku sadari hari mulai senja, mungkin lebih baik untuk pulang dan mulai meninggalkan segala yang pernah menjadi kenangan di kampus ini.

Duduklah wanita di sebelah ku saat ku akan beranjak dari duduk, wajahnya tak asing, wajahnya selalu kuingat, dia duduk manis sambil membaca buku dan sesekali tersenyum kecil, senyumnya ku kenal pasti tak aneh lagi, itu Ummi Lasifa, pelangi dihari-hariku.

Ku tak berani menganggunya, dia begitu khusu membaca buku yang dipegangnya. Lupakah dia dengan parasku hingga aku begitu dekat dengannya dia tak mengenaliku? Atau karena khusunya dia tak melihat ada orang di dekatnya? Ku biarkan saja dia sambil sesekali ku lirik wajahnya yang sudah lama tak ku lihat dengan malu.

Seorang wanita tiba-tiba menyapa Ummi dan bertanya, “Ummi… lagi ngapain?” tanyanya.

“Nunggu Putra, Wi…” jawab Ummi sambil tersenyum.

Wanita itu Wiwi yang ku kenal juga, ia hanya tersenyum sebagai balasan dari jawaban Ummi dan melanjutkan langkahnya.

Aku terdiam dan tak bisa berkata apa-apa sesaat setelah Ummi berkata seperti itu. Tak lama aku terdiam, ku dapati Ummi sudah pergi dari duduknya.

Spontan ku paggil dia, “Mii….!” Ku panggil lagi dengan lebih keras, “Ummi….!!”.

Dia tetap tak menengok, mungkin memang tidak terdengar, ku dekati dan ku paksakan untuk meraihnya langsung, “Mii….!” Sambil menepuk pundaknya.

Tanganku tidak bisa meraihnya, tidak bisa menyentuhnya, semakin keras ku panggil pun dia tetap tak mendengar, dia tak bisa melihatku, bahkan saat ada di depannya dia tak tau.

Aku baru sadar, aku sudah berbeda dunia dengan mereka, baru ku ingat radioterapi ku di Paris terbuang percuma, Limfoma yang menyerang tubuh ini sudah tak dapat disembuhkan lagi dan hanya nama Putra bin Adam, namaku yang kembali ke Indonesia.

Yang Terpandang

Jalan setapak ini yg ku injak
Tuk menebus segala tanya dalam benak
"Apa yg ada dihadapan sana?"
Tak pernah pasti apa bentuknya
Dan mungkin bukan sesuatu yg penting
Namun hasrat penasaran ini menarik
"Mari lihat apa yg bersembunyi"

Beranjak dari menjatuhkan langkah, perlahan
Menyelundup,
Membuka kabut yg mengaburkan mata
Tak pernah jelas apa yg dipandang
Namun hasrat tetap menarik
Tak pernah ku kenal
Seberapa jauh kedepan,
Dan seberapa lama waktu yg telah terbuang
Hanya untuk satu yg tak pasti adanya

Namun hasrat tetap menarik
Kini celah bayang yg terpandang mulai membentang
Hasrat semakin menarik
Tak mungkin tuk kembali di tengah kabut buta
Namun hingga waktu dan jarak terus dilalui
Yang terpandang tak pernah pasti adanya